Senin, 30 April 2018

Kampus dan Masa Depan

Ketika gue baru lulus SMP, pertanyaan pun muncul, "Mau sekolah di mana?" Dan, tanpa pikir panjang gue langsung bilang, "Yaudah, di sini lagi aja." Ya, kebetulan sekolah gue emang ada SMA nya juga.

Berbeda dengan sekarang, saat gue baru lulus SMA, jika ditanya, "Mau kuliah di mana? Jurusan apa?" Gue gak tau, gak bisa jawab. Gue bahkan gak tau apa kelebihan gue, apa rencana hidup gue di masa depan.



Gue sering berpikir, 'Bakal jadi apa gue nantinya?" "Mau kerja apa?" "Apa sebenernya yang gue bisa?" Itulah yang selalu menghantui pikiran gue menjelang lulus dari SMA.

Sedangkan temen gue sendiri, mereka sudah punya jawaban tersendiri. "Mau kuliah penerbangan! Jadi pramugari!" Terus ada yang pengen jadi desainer, akuntan, pengusaha, bahkan mungkin ada yang cita-citanya pengen cepet beranak.

Gue gak tau mau jadi apa.

Memilih kuliah berbeda dengan memilih SMA. Milih SMA enak, santai. Beda dengan Kuliah, mesti mikir mau jurusan apa, pas lulus kerjanya jadi apa. Salah jurusan, masa depan akan dipertaruhkan. Masa depan suram, sama dengan tidak menghargai apa yang Orang Tua perjuangkan untuk anaknya agar bisa sekolah, berharap masa depannya jadi lebih baik.



Kebingungan ini dibuat tambah parah ketika banyaknya sosialisasi dari kampus lain yang dateng ke sekolah gue. Mereka selalu memakai cara yang sama: embel-embel terjamin kerjanya. Apalagi gue mendapat sebuah pencerahan: semakin bagus kerjaannya maka semakin cantik ceweknya. Gue jadi termotivasi, untuk mendapat pekerjaan yang bagus nantinya.



Gue mulai berpikir keras. Kalo gue jadi desainer? Kayaknya gak mungkin, gambar pegunungan aja seharian belum kelar. Jadi Pramugara? Gue mabok pesawat. Kerja di kapal pesiar? Gue gak bisa renang. Kerja di hotel? Baru ngangkat galon aja udah bikin koma. Pengangguran? Udah terlihat bakatnya dari kecil.

Jawaban dari pertanyaan "Mau jadi apa?" belum juga terjawab. Hari terus berlalu, semakin mendekati bulan-bulan kelulusan. Gue kembali berpikir, mengingat hal lama, apa bakat yang gue punya dari dulu. Gak ada yang gue ingat, kecuali dikejer tetangga karena ngelempar batu ke rumahnya.

Dulu, pas SD, gue suka baca buku cerita macem-macem. Bahkan gue suka berkhayal, bikin cerita itu kayaknya seru. Gue mulai menulis cerita aneh, seperti tulisan tentang legenda terbentuknya sebuah laut, prosesnya terjadi karena seorang manusia yang... bukan karena kesaktiannya, atau tongkatnya, tapi karena dia pipis sembarangan.

Pas SMP, gue iseng menulis kalimat perpisahan. Kebetulan ada temen yang baca, dia berkomentar katanya bagus. bagus karena kata-katanya atau karena ditulis bukan pake bulpen dia?

Pujian itu kembali gue ingat, dan apa yang gue lakukan di masa lalu. Gue jadi tau apa yang harus gue lakukan: Kenapa gak jadi penulis aja? Gue ngerasa menjadi penulis itu keren. Kerjanya buat cerita sesuai yang dia pengen. Tapi gue juga ngerasa: jadi penulis itu gak gampang. Prosesnya lama, gak punya karir seperti orang pada umumnya. Penghasilan gak menentu, dan sering diremehkan orang. Banyak orang bilang jadi penulis itu gak akan menghasilkan.

Sampai pada akhirnya gue mengenal Raditya Dika. Dia adalah penulis yang sukses, yang mengawali karirnya dari blog, lalu dia kembangkan ke banyak bidang lainnya. Gue jadi terinspirasi, kenapa gue gak nulis aja? Dan, langkah pertama yang gue lakukan: membuat blog. Gue menuliskan di blog gue apa aja keseharian gue, keresahan gue terhadap suatu hal, dan banyak lagi. Udah banyak yang gue tulis, sampai saat post ini dibuat. Walaupun juga sampai saat ini, gak ada yang baca. Tapi gue gak mau nyerah gitu aja, inilah yang namanya proses.



Selain ngeblog, kerjaan lain gue juga menulis cerita yang sampai sekarang, gak ada yang selesai. Baru beberapa halaman, ah cerita ini jelek, buat yang lain. Ah jelek, ganti lagi. Gitu aja terus. Pernah sekali dulu gue meminta pendapat temen soal cerita gue. Dengan penuh niat, gue langsung ngeprint beberapan halaman untuk dia baca. Setelah dia baca, dia bilang, "Kayaknya lo perlu banyak baca novel, deh." Dari kalimatnya, gue tau sebenarnya dia gak enak untuk bilang jelek. Gue kecewa berat, bukan karena komentarnya, tapi karena uang hasil print gue gak dibalikin, dan naskah gue diambil gitu aja. Selain kehilangan uang, efek samping setelah baca cerita gue: Kita jadi gak saling kenal.

Dikomentarin kayak gitu gue gak marah. Malah gue meresapi perkataannya, mencoba memperbaiki kekurangan gue dalam menulis. Gue ngedengerin saran dari dia, dan gue juga bertindak. Mendadak gue jadi suka baca banyak novel. Hampir sepanjang hari gue habiskan untuk baca novel, di rumah, di sekolah, bahkan saat jam pelajaran berlangsung. Waktu istirahat juga gue pake buat baca novel. Tingkah laku gue yang sering baca novel ini membuat temen gue heran. Gue paling ngejawab santai, "Gue suka baca novel karena bikin bahagia. Kalo baca buku pelajaran bikin gue stres."

Berkat baca novel, kemampuan gue dalam menulis jadi semakin meningkat. Ya walaupun sih yang baca gak ada meningkatnya. Paling cuma gue, atau maksa temen buat baca. Itu pun gue mesti nyandera keluarganya.Gue menulis cerita keseharian gue yang bisa dibilang agak goblok juga, apalagi kalo berhubungan dengan cewek. Suatu ketika seorang temen cewek gue bilang, "Gue baca blog lo tadi, gila ngakak banget, ada cerita lain gak?" Seketika mendapat pujian dari temen, bikin gue jadi makin bersemangat buat nulis. Lalu gue ngirimin link blog gue, dan semoga aja dia baca sampai post ini.

Buku yang bikin gue terinspirasi untuk nulis di blog


Pujian memang menyenangkan, tapi gue gak mau terlalu seneng karena gue belum mendapatkan hinaan. Untuk menjadi hebat, seseorang perlu menghadapi yang namanya hinaan dan kritikan. Mendapatkan Hinaan? Biarkan. Bakar aja. Mendapat Kritikan? Dengarkan, lalu perbaiki diri. Mendapatkan pujian? Semoga terus, sih. Gue udah siap kalo suatu hari gue dihina, itu hal yang wajar. Karena gak semua orang bisa suka sama kita.

Semakin giat gue nulis, semakin gue tau apa impian terbesar gue: Jadi penulis yang kemudian karyanya diangkat ke layar lebar, lalu disitu gue nulis skenarionya, belajar dan belajar dari Sutradara, sampai akhirnya gue bisa menjadi Sutradara film. Kemudian gue terjun ke dunia Youtube, menjadi Content Creator yang setiap karya nya memberikan manfaat positif bagi banyak orang.

Langkah pertama untuk mencapai semua tujuan itu: pilih kuliah. Gue akhirnya tau harus ke mana, dengan sepenuh hati gue memilih jurusan film dan televisi. Saat inilah gue dihadapkan dengan banyak kenyataan buruk yang harus gue tanggung resikonya. Di daerah gue, Bali, gak ada kuliah yang mempunyai jurusan televisi dan film. Kalo ada pun, percuma, gak akan berkembang. Setelah lulusnya gue gak tau mau kerja apa. Lowongan kerja lulusan film di Bali kayaknya langka banget.

Demi kemajuan di masa depan, gue tau, gue harus keluar dari zona nyaman. Meskipun gue agak takut juga sih ngerantau, gak tau gimana nasib nya di sana. Kemampuan bertahan hidup gue sangat rendah. Masak telor mungkin bisa kebakaran, abis ngangkat galon perlu tidur seharian karena kelelahan. Keinginan merantau ini gue sampaikan kepada orang tua gue. Mereka kaget, bahkan gak setuju. Mereka bilang hidup di luar Bali, di luar jangkauan keluarga itu berat. Hidup sendiri itu susah. Apalagi anaknya kayak gue, membiarkannya merantau ibarat melepas anaknya di hutan rimba.

Kebetulan Kampus yang gue incar berada di Jogjakarta. Setelah gue check google maps, jaraknya ribuan kilometer dari rumah gue. Sejujurnya gue lumayan takut ngerantau, banyak hal yang gue takutin di sana. Yang pertama gue takut kalo sewaktu-waktu sakit di sana, siapa yang bisa nolong? Gue gak mungkin pulang ke rumah naik gojek, gak mungkin juga nyuruh keluarga buat dateng ke tempat gue. Itu berarti gue harus mandiri, gue harus belajar dari sekarang, untuk ngesot nyariin Dokter.

Gue juga takut sama lingkungannya yang beda. Katanya lingkungan di sana itu kejam, sering terjadi kejahatan. Misalnya, perampokan. Kalo itu menimpa gue di sana, kepada siapa gue lapor? Gue gak tau di mana kantor polisi di sana. Nelepon polisi? Gue cuma inget nomer 14045. Ditodong penjahat?
Gue gak pernah ikut beladiri mana pun, yang gue tau cara melawannya: masukin kelereng ke lobang hidungnya. Cara ini cukup ampuh membuat penjahat sesak napas, cara ini beresiko, mungkin sebelum mendekat aja badan gue udah penuh luka tusuk. Dari semua kejahatan yang ada, yang paling gue takutin cuma satu: diperkosa sama orang.

Kampus yang gue pilih yaitu Institut Seni Indonesia yang berada di Jogja. Di Bali ada sih, tapi gak ada jurusannya. Sebenarnya gue kepengen kuliah di Institut Kesenian Jakarta, namun gak diijinin Orang Tua. Kata mereka, Ibukota itu kejam. Awalnya orang tua gak setuju soal gue ngambil jurusan film. Banyak temen Orang Tua gue yang hidupnya pas-pasan karena ngambil perfilman. Gue sendiri sebenernya juga mikir, Sehabis tamat, mau dimana gue kerja? Pasti susah.



Apalagi gue sendiri melihat contoh nyata lulusan anak seni yang ngambil perfilman kayak gimana, tubuhnya tatooan, rambutnya gak beraturan, dan bau ketek. Dipenuhi rasa takut, tapi gue tetep keras kepala. Orang tua menyuruh gue untuk kuliah di pariwisata, biar cepet kerja. Gue menolak, bagi gue kuliah di jurusan itu gak akan membuat hidup gue jauh jadi lebih baik. Gue pengen mengubah nasib, menjadi banyak dikenal orang, menjadi inspirasi orang, bahkan ingin dicintai banyak orang.

Emang sih cepet kerja itu enak, dapet uang bisa dipake buat apa aja. Bagaimana pun gue selalu keras kepala, kukuh sama pendirian. Gue tau, menjadi penulis itu prosesnya lama, akan banyak penolakan yang bakal menghampiri gue, tapi gue udah siap secara mental untuk mengatasi itu semua. Memilih kuliah sendiri, berarti gue harus bertanggung jawab atas apa yang udah gue pilih. Harus serius, gak boleh main-main.

Resiko terburuk dari memilih proses panjang menjadi penulis adalah gue gak bisa dapet uang secara cepat. Jumlahnya juga gak pasti. Gak bisa diprediksi. Hal terberat yang gue rasakan sekarang, pengen punya pacar. Jujur aja dari lubuk hati terdalam, setiap hari gue mendambakan seseorang yang mau ngesupport gue, bikin gue bahagia dan nyaman. Tapi, gue sadar, cinta sekarang butuh uang. Dengan keadaan seperti ini gue takut gak bisa ngasih apa-apa ke orang yang gue sayang. Takut gak bisa bikin dia bahagia.

Yang paling penting, sebagai anak gue harus bisa menjadi tulang punggung nantinya untuk keluarga. Gue bertekad untuk ngebahagiaiin orang tua, keluarga, dan siapa pun yang gue sayang. Demi mewujudkan itu semua, gue mesti bisa masuk ISI Jogja. Ada beberapa tes yang harus gue lalui melalui jalur SBMPTN, tes tulis dan tes keterampilan. Untuk tes tulis sendiri gue gak ngerti apa pun, bingung apa yang harus gue pelajarin. Tes keterampilan? Gue disuruh untuk Story telling dan Menggambar Sinematik. Bagian terberat dari semua tes: semuanya. Menggambar? Gue cuma bisa buat pegunungan. StoryTelling? Pas pelajarannya aja gue bolos mulu. Gue menganggap bahwa test jauh ke Jogja ini mungkin hanya akan menjadi liburan aja.



Hanya ada satu jalan yang gue bisa tempuh: pasrah. Apa pun yang terjadi pas tes nanti, terjadilah.

Tes menyisakan beberapa hari lagi, hebatnya gue belum punya persiapan sama sekali. Belajar dikit aja belum. Bahkan gue gak tau apa materinya. Kalo materinya semua ngulang dari SD, tetep aja gue gak bakal bisa jawab. Di saat seperti ini muncul ketakutan besar: apa gue bisa hidup di sana? Jauh dari semua itu berat. Keraguan pun muncul, terkadang ketakutan mengalahkan kekuatan. Gue tau gue takut, tetapi gue harus ngelawan itu semua. Ketakutan berikutnya yaitu kesepian. Sendiri di sana tanpa kenal siapa pun itu gak enak. Gak ada lagi yang bisa dimintain duit, ngasih makan gratis, dan yang peduli.

Menjelang hari yang makin dekat, banyak keraguan yang muncul. Bisakah gue dapet kerjaan yang bagus setelah selesai kuliah? Gue banyak melihat contoh nyata dari orang terdekat yang gagal karena jurusan yang gue pilih. Dari jurusan Film malah mereka terlempar ke banyak bidang, contohnya jadi pegawai konter hape.

Yah, semoga aja gue bisa test dengan lancar, terus keterima. Semoga juga gue bisa bertahan hidup di sana dengan segala cara. Kayaknya itu aja dulu curhat dari gue, soal keresahan selama ini. Memilih kampus dan menentukan masa depan itu emang perlu pertimbangan matang. Gak bisa ditentukan satu hari. Butuh waktu banyak.

Oke thanks for read, see u guys !



















Minggu, 29 April 2018

Manusia Norak Sewaktu Nonton Film

Menonton film bisa membuat orang terhibur, tapi bisa juga membuat yang nonton menjadi norak. Gue sering menemukan orang yang bereaksi berlebihan terhadap film. Contoh ekstrimnya orang yang suka nonton sinetron berjumlah ribuan episode, sekali kelewatan, dia marah. Lalu stres, Dia membantai seluruh keluarganya.



 Belakangan ini muncul banyak film-film bagus yang menarik perhatian, yang memunculkan banyak orang norak. Gak tau apakah itu pertama kalinya mereka nonton atau emang nyari perhatian orang lain. Gue akan menjelaskan orang seperti apa yang norak ketika nonton film

1. Tukang tebar spoiler

Sebelum dilanjut lagi, gue takut ada yang gak ngerti apa arti spoiler. Jadi gue akan menjelaskan, pada kalian, wahai kaum yang kelamaan dipenjara di bawah tanah.

Tukang spoiler adalah jenis manusia yang otaknya entah berada di kepala atau di bagian ketek. Manusia berotak di ketek inilah yang sehabis nonton film dengan bangganya memberi tahu jalan cerita pada orang yang belum nonton. Jalan cerita pun akan ketebak.



 Misalnya, di suatu film diceritakan Superman adalah tokoh yang sangat kuat.  Tubuhnya mampu menahan segala jenis peluru, kecuali peluru airsoftguns. Dia pernah trauma karena pada masa kecilnya pernah menjadi korban kekerasan oleh ayahnya menggunakan airsofguns. Diceritakan juga Superman ini tahan segala gempuran. Seperti dilindes becak, ditabrak tukang anter galon aqua, dan masih banyak lagi.

Tapi di akhir Superman mati karena digrepe massal oleh cowok yang baru dikenalnya dari media sosial. Di bagian akhir inilah biasanya para tukang spoiler akan membocorkan kepada yang belum nonton. Kalo udah tau gimana ceritanya, otomatis sensasi nonton akan beda. Ibaratnya kayak elo dibisikin begini sama temen, "Bro, pacar lo tuh kalo main bisa tahan 23 jam, baru aja 5 menit yang lalu gue selesai sama dia. Coba deh lo buktiin pas lo nikah nanti."

Para tukang spoiler ini biasa beraksi di dunia maya, dan di dunia nyata (cukup jarang, biasanya sehabis ngespoiler, dia akan dibakar massa) Gue sendiri gak ngerti apa bagusnya jadi tukang spoiler. Apa itu bisa dibanggakan? Apa itu biar dibilang keren? Apa bisa menaikkan status sosial lo di masyarakat?

Entahlah, sama sekali gue gak ngerti. Gak ada bagusnya sedikitpun. Sampai suatu ketika gue menyadari, dulu gue mantan tukang spoiler. Ya, pernah. Misalnya video lucu sepak bola, gue beramai-ramai nonton sama temen. Kebetulan video itu pernah gue tonton. Jadi gue kasih tau ke temen kapan lucunya, memberi intruksi seakan gue expert. "Tuh, bentar lagi tanknya bakal masuk ke stadion."

2. Orang yang nonton karena ngikut tren

Fenomena nonton ngikutin temen, ngikutin orang lain, saat ini makin merajalela. Belakangan ini, ada film superhero yang paling ditunggu karena banyak hero yang akan tampil. Nah, banyaknya antusiasme ini bikin gue ragu. Apakah semuanya tau jalan ceritanya? Gambaran besarnya?



Misalnya lo lagi nonton Iron Man sama temen lo yang ngikutin lo nonton bilang, "Loh, kok Batmannya gak ada?" Jelas ini keliru besar. Apalagi kalo lo nonton film perang, terus temen lo bilang, "Ah film apaan sih ini, gak jelas, mending gue nonton pesbuker. Yang paling parah kalo lagi nonton film harry potter, lalu temen lo yang gak ngerti bilang, "Kapan nih limbad muncul?"

Cari tau dulu lah gimana gambarannya ceritanya, jangan asal nonton ngikutin tren. Gaul boleh, goblok, yaudah.

3. Peramal

Kalo jenis manusia yang begini juga cukup ngeselin. Filmnya belum habis, atau lagi di pertengahan, udah main nebak aja. Kalo film biru, oke lah, lo bisa nebak endingnya. Tapi kalo film lain? Gak gampang.

Mending kalo ngeramalnya dengan berdasarkan alasan logis, lah kebanyakan nyerocos dengan sotoy. " Ini bakal mati nih!" "Tuh penjahat bakal mati disunat mertuanya!" "Wah lembaga sensor menyatakan, filmnya dah mau selesai nih!"

4. Narsiser (Najiser)

Tipe yang keempat udah lumayan banyak sih, bahkan selalu gue temui. Dari yang gak gue kenal, sampai temen sendiri. Orang norak jenis ini biasanya sebelum nonton, atau pas lagi nonton bakal ngeluarin hape (Iyalah! Masa galon?) Lalu ngupdate di sosial media mereka. Seakan kalo dianalisis lebih dalam arti update mereka itu 'Gue sekarang lagi bahagia! Lo pasti susah mulu ya, nyet?'



Update mereka bervariasi, mulai dari foto (okelah) diisi aksesoris jam berapa mereka lagi nonton. Foto ticket sebelum nonton. Foto tangan yang lagi bergandengan (Ini norak, tapi bisa kemungkinan itu minjem tangan orang lain), atau foto dengan stiker yang makna nya 'Sini nyet! Jangan nunggu bajakannya!'

Yang paling parah, dan paling norak, ngerekam apa yang mereka tonton. Kalo film bukan bioskop sih ya gak masalah, lah ini film bioskop baru tayang udah main rekam. Gue gak tau apa tujuan dari ngerekam itu.



Apa mereka ngerekam buat dilanjutin nonton di rumah? Apa mereka mau ngebantu temen mereka yang lagi kesusahan, yang gak bisa nonton?

Gue gak ngerti kenapa mereka ngerekam film bioskop, padahal udah jelas tindakan ngerekam bisa dipenjara. Tapi dari semua yang gue lihat ngerekam di media sosial mereka, gak ada satupun yang masuk penjara. Entah berapa banyak  kalo semua manusia begitu ditangkep satu persatu.

Intinya, narsis boleh, tapi jangan ngelanggar hukum. Kalo gue jadi mereka, mungkin gue akan merekam, lalu gue pamerin ke divisi humas polri.




Itu aja yang mau gue tulis berdasarkan keresahan gue belakangan ini yang gak ada bayarin nonton (lho?) Gue harap orang norak akan berkurang. Buat orang norak yang marah karena baca tulisan gue di atas, mohon maaf, kembalilah ke jalan yang benar. Buat kalian yang enggak marah, makasih, berarti kalian masih bisa diselamatkan.


Ok, itu aja yang mau gue omongin. Makasih udah mau baca, walau gak ada manfaatnya. See u !

For pic: thx to google


Selasa, 03 April 2018

Neraka itu Kamar Mandi Sekolah

Sebagai seorang murid, sekaligus seorang manusia normal. Gue pernah merasakan kebelet pup, bahkan sampai sekarang. Dan, semua orang juga pasti sama. Tapi gue sering mengalami kebelet disaat yang salah, terutama saat gak lagi di rumah. Satu hal yang paling gue takuti yaitu, pup di tempat lain. Bagi gue, tiada tempat ternyaman untuk pup selain di rumah sendiri. Selain nyaman, pup di rumah itu sangat aman, terjamin keselamatan dan tentunya privasi.


Sewaktu gue SD, gue paling takut kebelet pup di sekolah. Gue mengalami trauma berat. Gue sempat melihat pup berserakan di lantai, celana dalam yang digantung, dan genangan air di lantai yang ternyata pipis manusia. Sontak sehabis kejadian itu gue gak berani pup di sekolah.



Kalau mendadak gue kebelet, dan gak bisa ditahan. Maka, gue tetap bersikeras untuk tidak pup di sekolah. Gue akan langsung menuju kantor guru, minjem telepon, nelpon orang di rumah. Bukan untuk minta dukungan biar pup gue lancar, tapi minta jemput, biar pup di rumah.

Pernah kejadian gue gak bisa nahan lagi, pas nelepon, pup gue jatuh, mendarat di celana dalam. Saat itu gue berharap tetap seimbang, gak jatuh ke lantai. Gue panik, gue telepon terus. Gue mencoba menahan, disaat itu gue mendadak jadi orang yang sensitif, galak, dan nyebelin. Setiap temen yang mau ngedeket, langsung gue usir. Ini semua gue lakukan untuk melindungi diri,  menyelamatkan harga diri, dan tentunya agar pup tidak mendarat di lantai.

Nungguin dijemput itu sangat deg-degan, apalagi yang jemput. Mungkin di jalan udah ngidupin sirine. Iya, berasa dijemput ambulan. Padahal, cuma pengen berak di rumah. Di rumah memang sangat aman, nyaman, damai. Maka dari itu hal-hal yang gue takutkan di kamar mandi umum itu seperti:

1. Gak ada sabun
Menurut gue cebok tanpa sabun itu gak nyaman banget. Hina. Tangan yang bekas cebok, enggak dikasi sabun. Bayangin aja, kalo sampai nyentuh orang lain, apalagi kalau jadi pedagang makanan.
Gue ngebayangin gimana mereka gak cuci tangan pake sabun, masih bau, megang lauk pake tangan. Sedap.



Maka dari itu gue takut kalau gak ada sabun. Rasanya gak terbiasa aja. Cebok tanpa sabun itu bikin risih, kayak gak bersih gitu. Gue heran ngeliat orang luar negeri, biasa cebok tanpa sabun, cuma pakai tisu. Dibilang kreatif, iya. Dibilang bego, bisa juga. Sampai sekarang gue gak ngerti kenapa di kamar mandi sekolah jarang ada sabunnya. Apa harga sabun terlalu mahal? 

Kalau gue kebelet, gue mendadak menjadi pemilih. Menjadi pemburu kamar mandi. Nyari yang ada sabunnya. Tapi kebanyakan kamar mandi sekolah memang gak ada sabunnya. Mungkin takut disalahgunakan, mungkin dimakan, dipakai buat..., bahkan mungkin takut digondol maling.

2. Gak bisa dikunci
Mungkin banyak orang setuju, juga beranggapan sama bahwa kamar mandi yang gak bisa dikunci itu mengerikan. Apalagi di kamar mandi sekolah yang lumayan ramai. Kalo sepi sih enggak masalah, mau dibuka lebar lebar juga aman, mau pup sambil yoga juga gak ada yang tau. Tapi gimana kalau kamar mandi itu rame? Itulah yang gue takutkan. Gue punya beberapa pengalaman serem di kamar mandi umum yang gak bisa dikunci. Tempatnya lumayan rame, banyak yang ngantri. Waktu itu gue pengen pipis, tapi, pintunya kagak bisa dikunci. Terpaksa, demi menaati norma kesusilaan, satu tangan memegang titit, satu lagi buat menahan pintu agar gak kebuka.



Mungkin di luar sana orang-orang masih pengertian. Sekali mencoba buka pintu, kalo udah enggak bisa kebuka, mereka beranggapan ada orang di dalem kamar mandi. Beda  dengan di sekolah, sekali gak kebuka, pasti bakal dipaksa, meneror dengan cara menggedor-gedor terus. Yang di dalem, cuma bisa berdoa, berharap cobaan akan segera berakhir. Dan, yang di dalem cuma bisa pasrah menahan gempuran, kalau sedang pipis bisa pakai tangan satunya, atau kalau udah jago mengarahkan tepat sasaran, bisa pake dua tangan menahan pintu. Kalau pup, yaudah pake kedua kaki!

Gue belajar banyak hal, misalnya di kamar mandi sekolah, gue belajar bahwa jika ingin pup, sebaiknya jangan kasi tau teman. Apalagi memberi tau lokasi. Itu bahaya! Selalu jagalah privasi, jangan ngajak-ngajak, jangan juga mengundang untuk ikut bareng satu tempat. 

3. Kotor

Emang yang namanya kamar mandi pasti kotor. Terutama kamar mandi sekolah, gak ada yang bersih banget. Dan gak mungkin ada kamar mandi yang nyaman dipake buat tidur tiap hari. Tapi, kotor selalu ada batasnya. Seperti kalo masuk lantainya kotor, ada bekas-bekas kaki. Tapi, kalo baru masuk udah ada pup berserakan di lantai itu, sih, udah gak wajar. Kadang ada kamar mandi yang keliatannya bersih, semakin masuk ke dalam, ternyata baknya penuh air kencing. Bahkan dulu pas gue SD pernah nemuin celana dalam yang digantung. Gak ngerti apa faedah dari ngelepas celana dalam, terus ditinggalin gitu aja. Ritual bikin kaya raya?

4. Air habis

Ini juga jadi problem paling serem dari kamar mandi di sekolahan. Kadang kalau apes, nemu aja kamar mandi yang airnya mati. Misalnya abis pup, terus air mati. Kalo gak disiram, takut dikucilkan masyarakat. Mau nyiram, gimana caranya? Apa mesti ditiup pake mulut?



Emang repot dan ngeselin kalo udah nemu kamar mandi kayak gitu. Soalnya enggak bisa diakalin. Cara ekstrim yang mungkin bisa dicoba: Buka pintu, kabur secepat mungkin.

5. Celah buat ngintip

Di sekolah gue ada kamar mandi yang lumayan serem buat digunakan sebagai tempat membuang kotoran. Tempatnya sih gak jorok, pintu bisa dikunci, air ada, tapi atap gak ada. Jadi cuma dihalangi tembok gitu, atasnya terbuka. Pintu berasa gak ada kegunaannya. Tinggal manjat, kelihatan deh yang lagi di dalam. 

Kamar mandi ini sering memakan korban, sayangnya korbannya hanya cowok. Temen gue pernah menjadi korban. Lagi pup, dari atas direkam. Pas noleh ke atas, dia kaget, dia syok. Untungnya tidak pingsan dalam keadaan lagi pup.

Berdasarkan alasan itu, gue selalu menghindari melakukan kegiatan pembuangan kotoran di kamar mandi sekolah. Kalo sekedar pipis, ya gak masalah. 

Itu aja deh yang mau gue tulis. Semoga kalian semua yang membaca bisa lebih waspada lagi. Jangan sampai kalian jadi korban, atau malah jadi pelaku. Buat kalian yang kamar mandi di sekolah nya memenuhi semua kriteria di atas, ya udah, pindah sekolah aja! Kalau suatu waktu terjadi hal yang gak diinginkan, pake cara gue aja. Telpon ke rumah, minta jemput.

Oke itu aja deh yang mau gue omongin. Semoga ada manfaatnya. Kalian bisa jadi lebih waspada lagi dalan memilih kamar mandi yang baik untuk hidup kalian. Yang bisa ngertiin kalian, bisa bikin kalian nyaman.


See u next time!

Bangga Punya Progress

Gue percaya setiap orang pasti akan berusaha untuk menciptakan progress dalam hidup mereka. Itulah yang gue lakukan sekarang.

Belakangan ini gue lagi nulis cerita baru yang lumayan panjang. Gue menargetkan 200 halaman lebih. Gue juga berharap bisa selesai dalam waktu seminggu. Gila, sih, berarti sepanjang hari gue harus nulis.  Dari pagi sampai pagi. Berarti siklus hidup gue bakal jadi gak normal. Mandi? Motong waktu. Makan? Buang waktu beberapa menit. Kalau dipake nulis bisa dapet beberapa paragraf. Pup? Bisa di kamar mandi sambil nulis.

Yah... itu rencana gue. Kenyataannya berbeda dari rencana. Beberapa menit gue nulis... cuma dapet beberapa paragraf. Istirahat bentar main game, eh ketagihan. Selesai main, nulis lagi, eh ada pesan masuk. Gue balesin terus, gak jadi nulis. Pas gak ada gangguan, eh gue ngantuk. Tidur dulu, abis itu baru nulis. Selesai bangun, mau nulis, eh temen ngajak main game. Yaudah gue main. Akhirnya sehari gue cuma bisa nulis selama 10 menit, dan baru dapet 5 kalimat.

Cerita yang ditargetkan seminggu 200 
halaman pun baru jadi 30 halaman.

Pas lagi iseng-iseng bongkar file-file word di hape, gue menemukan banyak cerita yang gue tulis, tapi gak selesai. Ada yang baru tiga halaman, udah gak gue lanjutin. Ada yang udah banyak halaman, tapi abis itu gue gak tau apa kelanjutannya. Ada yang baru gue baca lagi, gila, sampah banget.
Saking banyaknya dokumen word di hape, satu persatu gue periksa. Inilah semuanya:



Gambar di atas ini cerita yang entah kenapa gue bisa niat banget nulis sampe udah 20 halaman lebih. Saking niatnya sampai gue minta pendapat temen cewek yang emang hobi membaca. Gue ngeprint sebanyak 20 halaman, seharga 10 ribu, gue kasih ke dia, biar dikomentarin. Kemudian dia bilang, "Kamu harus banyak baca novel lagi. Mau aku pinjemin?" Abis mendengar komentarnya, gue sadar, dia gak enak untuk bilang tulisan gue sampah.

Abis itu gue gak pernah minta pendapat dia lagi, lost contact. Dan, gak enaknya, uang gue gak diganti.

Entah apa yang ada di pikiran gue waktu itu bisa nulis cerita sihir-sihir. Cerita yang gue buat malahan jadi kayak ngejiplak Harry Potter secara halus.

Cerita gue yang absurd

Itu cerita tentang... Ah gak tau. Kayaknya tiga orang cowok menyimpang yang main di hutan.

Cerita absurd ketiga

Ini juga cerita apaaan ya? Gue lupa. Kalo diinget-inget ini, adik-kakak kandung yang terjebak zona adik-kakak.

Cerita absurd yang gagal

Ini... cerita yang mau gue selesein. Tapi, ah, ada cerita ide lain lebih bagus.

Add caption

Yang di atas sih, astaga. Salah upload. Kalo gak salah ini waktu dulu gue masih sering galau semasa SMP. Karena gak punya temen curhat, dan gak punya temen juga, jadinya hanya microsoft word yang jadi tempat pelampiasan gue. Gue masih ingat dokumen ini sampai gue kasih password, gue lindungi dengan ketat, demi tidak ketahuan bokap yang sering utak-atik komputer.




Dokumen word di atas mungkin isinya terlalu memalukan. Itu kata-kata yang gue sengaja tulis, buat nembak cewek. Bukan buat gue hapalin, terus ngungkapin secara langsung. Gue gak mau ribet. Jadi gue tulis, terus copy, kirim ke dia. Selesai. Hasilnya gue ditolak. Gak ribet. Dari jam 2 pagi gue mengetik kalimat demi kalimat sampai jam 4 pagi. Pas gue kirim, langsung gue tidur. Besoknya gue bangun, kena tolak.

Nah, berhubung banyaknya tulisan yang udah gue buat. Gue pengen bener-bener serius untuk nulis sampai selesai. Dari semua tulisan yang udah gue buat, memang gak sempurna. Setidaknya gue ngerasa gaya nulis gue jadi beda.

Gue makin serius untuk nulis, maka gue kepikiran untuk membuat cerita yang terdiri dari 10 bab lebih. Semua berisi tentang pengalaman-pengalaman gue dari SD, SMP, sampai sekarang SMA.


Empat belas bab di atas semua berdasarkan pengalaman gue. Ada temen yang gue usir karena gak mau nurut, ada kisah gue berantem pake gaya kera, ada kisah gue dibilang bencong, ada cerita temen gue yang mau pdkt tapi cuma berani ngumpet di motor. Dan masih banyak lagi. Gue berharap apa yang gue tulis bisa menghibur banyak orang.


Gambar di atas salah satu contoh tulisan di bab Pemuda Pemuja Paha Jejepangan.

Total, sekarang udah hampir 40 halaman. Semoga aja cepet selesai. Mungkin gak akan gue jual, just for fun aja.

Oke deh itu aja yang mau gue tulis. Gak jelas, sih. Gak penting juga. Oke see u next time!