Ketika gue baru lulus SMP, pertanyaan pun muncul, "Mau sekolah di mana?" Dan, tanpa pikir panjang gue langsung bilang, "Yaudah, di sini lagi aja." Ya, kebetulan sekolah gue emang ada SMA nya juga.
Berbeda dengan sekarang, saat gue baru lulus SMA, jika ditanya, "Mau kuliah di mana? Jurusan apa?" Gue gak tau, gak bisa jawab. Gue bahkan gak tau apa kelebihan gue, apa rencana hidup gue di masa depan.
Gue sering berpikir, 'Bakal jadi apa gue nantinya?" "Mau kerja apa?" "Apa sebenernya yang gue bisa?" Itulah yang selalu menghantui pikiran gue menjelang lulus dari SMA.
Sedangkan temen gue sendiri, mereka sudah punya jawaban tersendiri. "Mau kuliah penerbangan! Jadi pramugari!" Terus ada yang pengen jadi desainer, akuntan, pengusaha, bahkan mungkin ada yang cita-citanya pengen cepet beranak.
Gue gak tau mau jadi apa.
Memilih kuliah berbeda dengan memilih SMA. Milih SMA enak, santai. Beda dengan Kuliah, mesti mikir mau jurusan apa, pas lulus kerjanya jadi apa. Salah jurusan, masa depan akan dipertaruhkan. Masa depan suram, sama dengan tidak menghargai apa yang Orang Tua perjuangkan untuk anaknya agar bisa sekolah, berharap masa depannya jadi lebih baik.
Kebingungan ini dibuat tambah parah ketika banyaknya sosialisasi dari kampus lain yang dateng ke sekolah gue. Mereka selalu memakai cara yang sama: embel-embel terjamin kerjanya. Apalagi gue mendapat sebuah pencerahan: semakin bagus kerjaannya maka semakin cantik ceweknya. Gue jadi termotivasi, untuk mendapat pekerjaan yang bagus nantinya.
Gue mulai berpikir keras. Kalo gue jadi desainer? Kayaknya gak mungkin, gambar pegunungan aja seharian belum kelar. Jadi Pramugara? Gue mabok pesawat. Kerja di kapal pesiar? Gue gak bisa renang. Kerja di hotel? Baru ngangkat galon aja udah bikin koma. Pengangguran? Udah terlihat bakatnya dari kecil.
Jawaban dari pertanyaan "Mau jadi apa?" belum juga terjawab. Hari terus berlalu, semakin mendekati bulan-bulan kelulusan. Gue kembali berpikir, mengingat hal lama, apa bakat yang gue punya dari dulu. Gak ada yang gue ingat, kecuali dikejer tetangga karena ngelempar batu ke rumahnya.
Dulu, pas SD, gue suka baca buku cerita macem-macem. Bahkan gue suka berkhayal, bikin cerita itu kayaknya seru. Gue mulai menulis cerita aneh, seperti tulisan tentang legenda terbentuknya sebuah laut, prosesnya terjadi karena seorang manusia yang... bukan karena kesaktiannya, atau tongkatnya, tapi karena dia pipis sembarangan.
Pas SMP, gue iseng menulis kalimat perpisahan. Kebetulan ada temen yang baca, dia berkomentar katanya bagus. bagus karena kata-katanya atau karena ditulis bukan pake bulpen dia?
Pujian itu kembali gue ingat, dan apa yang gue lakukan di masa lalu. Gue jadi tau apa yang harus gue lakukan: Kenapa gak jadi penulis aja? Gue ngerasa menjadi penulis itu keren. Kerjanya buat cerita sesuai yang dia pengen. Tapi gue juga ngerasa: jadi penulis itu gak gampang. Prosesnya lama, gak punya karir seperti orang pada umumnya. Penghasilan gak menentu, dan sering diremehkan orang. Banyak orang bilang jadi penulis itu gak akan menghasilkan.
Sampai pada akhirnya gue mengenal Raditya Dika. Dia adalah penulis yang sukses, yang mengawali karirnya dari blog, lalu dia kembangkan ke banyak bidang lainnya. Gue jadi terinspirasi, kenapa gue gak nulis aja? Dan, langkah pertama yang gue lakukan: membuat blog. Gue menuliskan di blog gue apa aja keseharian gue, keresahan gue terhadap suatu hal, dan banyak lagi. Udah banyak yang gue tulis, sampai saat post ini dibuat. Walaupun juga sampai saat ini, gak ada yang baca. Tapi gue gak mau nyerah gitu aja, inilah yang namanya proses.
Selain ngeblog, kerjaan lain gue juga menulis cerita yang sampai sekarang, gak ada yang selesai. Baru beberapa halaman, ah cerita ini jelek, buat yang lain. Ah jelek, ganti lagi. Gitu aja terus. Pernah sekali dulu gue meminta pendapat temen soal cerita gue. Dengan penuh niat, gue langsung ngeprint beberapan halaman untuk dia baca. Setelah dia baca, dia bilang, "Kayaknya lo perlu banyak baca novel, deh." Dari kalimatnya, gue tau sebenarnya dia gak enak untuk bilang jelek. Gue kecewa berat, bukan karena komentarnya, tapi karena uang hasil print gue gak dibalikin, dan naskah gue diambil gitu aja. Selain kehilangan uang, efek samping setelah baca cerita gue: Kita jadi gak saling kenal.
Dikomentarin kayak gitu gue gak marah. Malah gue meresapi perkataannya, mencoba memperbaiki kekurangan gue dalam menulis. Gue ngedengerin saran dari dia, dan gue juga bertindak. Mendadak gue jadi suka baca banyak novel. Hampir sepanjang hari gue habiskan untuk baca novel, di rumah, di sekolah, bahkan saat jam pelajaran berlangsung. Waktu istirahat juga gue pake buat baca novel. Tingkah laku gue yang sering baca novel ini membuat temen gue heran. Gue paling ngejawab santai, "Gue suka baca novel karena bikin bahagia. Kalo baca buku pelajaran bikin gue stres."
Berkat baca novel, kemampuan gue dalam menulis jadi semakin meningkat. Ya walaupun sih yang baca gak ada meningkatnya. Paling cuma gue, atau maksa temen buat baca. Itu pun gue mesti nyandera keluarganya.Gue menulis cerita keseharian gue yang bisa dibilang agak goblok juga, apalagi kalo berhubungan dengan cewek. Suatu ketika seorang temen cewek gue bilang, "Gue baca blog lo tadi, gila ngakak banget, ada cerita lain gak?" Seketika mendapat pujian dari temen, bikin gue jadi makin bersemangat buat nulis. Lalu gue ngirimin link blog gue, dan semoga aja dia baca sampai post ini.
Pujian memang menyenangkan, tapi gue gak mau terlalu seneng karena gue belum mendapatkan hinaan. Untuk menjadi hebat, seseorang perlu menghadapi yang namanya hinaan dan kritikan. Mendapatkan Hinaan? Biarkan. Bakar aja. Mendapat Kritikan? Dengarkan, lalu perbaiki diri. Mendapatkan pujian? Semoga terus, sih. Gue udah siap kalo suatu hari gue dihina, itu hal yang wajar. Karena gak semua orang bisa suka sama kita.
Semakin giat gue nulis, semakin gue tau apa impian terbesar gue: Jadi penulis yang kemudian karyanya diangkat ke layar lebar, lalu disitu gue nulis skenarionya, belajar dan belajar dari Sutradara, sampai akhirnya gue bisa menjadi Sutradara film. Kemudian gue terjun ke dunia Youtube, menjadi Content Creator yang setiap karya nya memberikan manfaat positif bagi banyak orang.
Langkah pertama untuk mencapai semua tujuan itu: pilih kuliah. Gue akhirnya tau harus ke mana, dengan sepenuh hati gue memilih jurusan film dan televisi. Saat inilah gue dihadapkan dengan banyak kenyataan buruk yang harus gue tanggung resikonya. Di daerah gue, Bali, gak ada kuliah yang mempunyai jurusan televisi dan film. Kalo ada pun, percuma, gak akan berkembang. Setelah lulusnya gue gak tau mau kerja apa. Lowongan kerja lulusan film di Bali kayaknya langka banget.
Demi kemajuan di masa depan, gue tau, gue harus keluar dari zona nyaman. Meskipun gue agak takut juga sih ngerantau, gak tau gimana nasib nya di sana. Kemampuan bertahan hidup gue sangat rendah. Masak telor mungkin bisa kebakaran, abis ngangkat galon perlu tidur seharian karena kelelahan. Keinginan merantau ini gue sampaikan kepada orang tua gue. Mereka kaget, bahkan gak setuju. Mereka bilang hidup di luar Bali, di luar jangkauan keluarga itu berat. Hidup sendiri itu susah. Apalagi anaknya kayak gue, membiarkannya merantau ibarat melepas anaknya di hutan rimba.
Kebetulan Kampus yang gue incar berada di Jogjakarta. Setelah gue check google maps, jaraknya ribuan kilometer dari rumah gue. Sejujurnya gue lumayan takut ngerantau, banyak hal yang gue takutin di sana. Yang pertama gue takut kalo sewaktu-waktu sakit di sana, siapa yang bisa nolong? Gue gak mungkin pulang ke rumah naik gojek, gak mungkin juga nyuruh keluarga buat dateng ke tempat gue. Itu berarti gue harus mandiri, gue harus belajar dari sekarang, untuk ngesot nyariin Dokter.
Gue juga takut sama lingkungannya yang beda. Katanya lingkungan di sana itu kejam, sering terjadi kejahatan. Misalnya, perampokan. Kalo itu menimpa gue di sana, kepada siapa gue lapor? Gue gak tau di mana kantor polisi di sana. Nelepon polisi? Gue cuma inget nomer 14045. Ditodong penjahat?
Gue gak pernah ikut beladiri mana pun, yang gue tau cara melawannya: masukin kelereng ke lobang hidungnya. Cara ini cukup ampuh membuat penjahat sesak napas, cara ini beresiko, mungkin sebelum mendekat aja badan gue udah penuh luka tusuk. Dari semua kejahatan yang ada, yang paling gue takutin cuma satu: diperkosa sama orang.
Kampus yang gue pilih yaitu Institut Seni Indonesia yang berada di Jogja. Di Bali ada sih, tapi gak ada jurusannya. Sebenarnya gue kepengen kuliah di Institut Kesenian Jakarta, namun gak diijinin Orang Tua. Kata mereka, Ibukota itu kejam. Awalnya orang tua gak setuju soal gue ngambil jurusan film. Banyak temen Orang Tua gue yang hidupnya pas-pasan karena ngambil perfilman. Gue sendiri sebenernya juga mikir, Sehabis tamat, mau dimana gue kerja? Pasti susah.
Apalagi gue sendiri melihat contoh nyata lulusan anak seni yang ngambil perfilman kayak gimana, tubuhnya tatooan, rambutnya gak beraturan, dan bau ketek. Dipenuhi rasa takut, tapi gue tetep keras kepala. Orang tua menyuruh gue untuk kuliah di pariwisata, biar cepet kerja. Gue menolak, bagi gue kuliah di jurusan itu gak akan membuat hidup gue jauh jadi lebih baik. Gue pengen mengubah nasib, menjadi banyak dikenal orang, menjadi inspirasi orang, bahkan ingin dicintai banyak orang.
Emang sih cepet kerja itu enak, dapet uang bisa dipake buat apa aja. Bagaimana pun gue selalu keras kepala, kukuh sama pendirian. Gue tau, menjadi penulis itu prosesnya lama, akan banyak penolakan yang bakal menghampiri gue, tapi gue udah siap secara mental untuk mengatasi itu semua. Memilih kuliah sendiri, berarti gue harus bertanggung jawab atas apa yang udah gue pilih. Harus serius, gak boleh main-main.
Resiko terburuk dari memilih proses panjang menjadi penulis adalah gue gak bisa dapet uang secara cepat. Jumlahnya juga gak pasti. Gak bisa diprediksi. Hal terberat yang gue rasakan sekarang, pengen punya pacar. Jujur aja dari lubuk hati terdalam, setiap hari gue mendambakan seseorang yang mau ngesupport gue, bikin gue bahagia dan nyaman. Tapi, gue sadar, cinta sekarang butuh uang. Dengan keadaan seperti ini gue takut gak bisa ngasih apa-apa ke orang yang gue sayang. Takut gak bisa bikin dia bahagia.
Yang paling penting, sebagai anak gue harus bisa menjadi tulang punggung nantinya untuk keluarga. Gue bertekad untuk ngebahagiaiin orang tua, keluarga, dan siapa pun yang gue sayang. Demi mewujudkan itu semua, gue mesti bisa masuk ISI Jogja. Ada beberapa tes yang harus gue lalui melalui jalur SBMPTN, tes tulis dan tes keterampilan. Untuk tes tulis sendiri gue gak ngerti apa pun, bingung apa yang harus gue pelajarin. Tes keterampilan? Gue disuruh untuk Story telling dan Menggambar Sinematik. Bagian terberat dari semua tes: semuanya. Menggambar? Gue cuma bisa buat pegunungan. StoryTelling? Pas pelajarannya aja gue bolos mulu. Gue menganggap bahwa test jauh ke Jogja ini mungkin hanya akan menjadi liburan aja.
Hanya ada satu jalan yang gue bisa tempuh: pasrah. Apa pun yang terjadi pas tes nanti, terjadilah.
Tes menyisakan beberapa hari lagi, hebatnya gue belum punya persiapan sama sekali. Belajar dikit aja belum. Bahkan gue gak tau apa materinya. Kalo materinya semua ngulang dari SD, tetep aja gue gak bakal bisa jawab. Di saat seperti ini muncul ketakutan besar: apa gue bisa hidup di sana? Jauh dari semua itu berat. Keraguan pun muncul, terkadang ketakutan mengalahkan kekuatan. Gue tau gue takut, tetapi gue harus ngelawan itu semua. Ketakutan berikutnya yaitu kesepian. Sendiri di sana tanpa kenal siapa pun itu gak enak. Gak ada lagi yang bisa dimintain duit, ngasih makan gratis, dan yang peduli.
Menjelang hari yang makin dekat, banyak keraguan yang muncul. Bisakah gue dapet kerjaan yang bagus setelah selesai kuliah? Gue banyak melihat contoh nyata dari orang terdekat yang gagal karena jurusan yang gue pilih. Dari jurusan Film malah mereka terlempar ke banyak bidang, contohnya jadi pegawai konter hape.
Yah, semoga aja gue bisa test dengan lancar, terus keterima. Semoga juga gue bisa bertahan hidup di sana dengan segala cara. Kayaknya itu aja dulu curhat dari gue, soal keresahan selama ini. Memilih kampus dan menentukan masa depan itu emang perlu pertimbangan matang. Gak bisa ditentukan satu hari. Butuh waktu banyak.
Oke thanks for read, see u guys !
Berbeda dengan sekarang, saat gue baru lulus SMA, jika ditanya, "Mau kuliah di mana? Jurusan apa?" Gue gak tau, gak bisa jawab. Gue bahkan gak tau apa kelebihan gue, apa rencana hidup gue di masa depan.
Gue sering berpikir, 'Bakal jadi apa gue nantinya?" "Mau kerja apa?" "Apa sebenernya yang gue bisa?" Itulah yang selalu menghantui pikiran gue menjelang lulus dari SMA.
Sedangkan temen gue sendiri, mereka sudah punya jawaban tersendiri. "Mau kuliah penerbangan! Jadi pramugari!" Terus ada yang pengen jadi desainer, akuntan, pengusaha, bahkan mungkin ada yang cita-citanya pengen cepet beranak.
Gue gak tau mau jadi apa.
Memilih kuliah berbeda dengan memilih SMA. Milih SMA enak, santai. Beda dengan Kuliah, mesti mikir mau jurusan apa, pas lulus kerjanya jadi apa. Salah jurusan, masa depan akan dipertaruhkan. Masa depan suram, sama dengan tidak menghargai apa yang Orang Tua perjuangkan untuk anaknya agar bisa sekolah, berharap masa depannya jadi lebih baik.
Kebingungan ini dibuat tambah parah ketika banyaknya sosialisasi dari kampus lain yang dateng ke sekolah gue. Mereka selalu memakai cara yang sama: embel-embel terjamin kerjanya. Apalagi gue mendapat sebuah pencerahan: semakin bagus kerjaannya maka semakin cantik ceweknya. Gue jadi termotivasi, untuk mendapat pekerjaan yang bagus nantinya.
Gue mulai berpikir keras. Kalo gue jadi desainer? Kayaknya gak mungkin, gambar pegunungan aja seharian belum kelar. Jadi Pramugara? Gue mabok pesawat. Kerja di kapal pesiar? Gue gak bisa renang. Kerja di hotel? Baru ngangkat galon aja udah bikin koma. Pengangguran? Udah terlihat bakatnya dari kecil.
Jawaban dari pertanyaan "Mau jadi apa?" belum juga terjawab. Hari terus berlalu, semakin mendekati bulan-bulan kelulusan. Gue kembali berpikir, mengingat hal lama, apa bakat yang gue punya dari dulu. Gak ada yang gue ingat, kecuali dikejer tetangga karena ngelempar batu ke rumahnya.
Dulu, pas SD, gue suka baca buku cerita macem-macem. Bahkan gue suka berkhayal, bikin cerita itu kayaknya seru. Gue mulai menulis cerita aneh, seperti tulisan tentang legenda terbentuknya sebuah laut, prosesnya terjadi karena seorang manusia yang... bukan karena kesaktiannya, atau tongkatnya, tapi karena dia pipis sembarangan.
Pas SMP, gue iseng menulis kalimat perpisahan. Kebetulan ada temen yang baca, dia berkomentar katanya bagus. bagus karena kata-katanya atau karena ditulis bukan pake bulpen dia?
Pujian itu kembali gue ingat, dan apa yang gue lakukan di masa lalu. Gue jadi tau apa yang harus gue lakukan: Kenapa gak jadi penulis aja? Gue ngerasa menjadi penulis itu keren. Kerjanya buat cerita sesuai yang dia pengen. Tapi gue juga ngerasa: jadi penulis itu gak gampang. Prosesnya lama, gak punya karir seperti orang pada umumnya. Penghasilan gak menentu, dan sering diremehkan orang. Banyak orang bilang jadi penulis itu gak akan menghasilkan.
Sampai pada akhirnya gue mengenal Raditya Dika. Dia adalah penulis yang sukses, yang mengawali karirnya dari blog, lalu dia kembangkan ke banyak bidang lainnya. Gue jadi terinspirasi, kenapa gue gak nulis aja? Dan, langkah pertama yang gue lakukan: membuat blog. Gue menuliskan di blog gue apa aja keseharian gue, keresahan gue terhadap suatu hal, dan banyak lagi. Udah banyak yang gue tulis, sampai saat post ini dibuat. Walaupun juga sampai saat ini, gak ada yang baca. Tapi gue gak mau nyerah gitu aja, inilah yang namanya proses.
Selain ngeblog, kerjaan lain gue juga menulis cerita yang sampai sekarang, gak ada yang selesai. Baru beberapa halaman, ah cerita ini jelek, buat yang lain. Ah jelek, ganti lagi. Gitu aja terus. Pernah sekali dulu gue meminta pendapat temen soal cerita gue. Dengan penuh niat, gue langsung ngeprint beberapan halaman untuk dia baca. Setelah dia baca, dia bilang, "Kayaknya lo perlu banyak baca novel, deh." Dari kalimatnya, gue tau sebenarnya dia gak enak untuk bilang jelek. Gue kecewa berat, bukan karena komentarnya, tapi karena uang hasil print gue gak dibalikin, dan naskah gue diambil gitu aja. Selain kehilangan uang, efek samping setelah baca cerita gue: Kita jadi gak saling kenal.
Dikomentarin kayak gitu gue gak marah. Malah gue meresapi perkataannya, mencoba memperbaiki kekurangan gue dalam menulis. Gue ngedengerin saran dari dia, dan gue juga bertindak. Mendadak gue jadi suka baca banyak novel. Hampir sepanjang hari gue habiskan untuk baca novel, di rumah, di sekolah, bahkan saat jam pelajaran berlangsung. Waktu istirahat juga gue pake buat baca novel. Tingkah laku gue yang sering baca novel ini membuat temen gue heran. Gue paling ngejawab santai, "Gue suka baca novel karena bikin bahagia. Kalo baca buku pelajaran bikin gue stres."
Berkat baca novel, kemampuan gue dalam menulis jadi semakin meningkat. Ya walaupun sih yang baca gak ada meningkatnya. Paling cuma gue, atau maksa temen buat baca. Itu pun gue mesti nyandera keluarganya.Gue menulis cerita keseharian gue yang bisa dibilang agak goblok juga, apalagi kalo berhubungan dengan cewek. Suatu ketika seorang temen cewek gue bilang, "Gue baca blog lo tadi, gila ngakak banget, ada cerita lain gak?" Seketika mendapat pujian dari temen, bikin gue jadi makin bersemangat buat nulis. Lalu gue ngirimin link blog gue, dan semoga aja dia baca sampai post ini.
Buku yang bikin gue terinspirasi untuk nulis di blog |
Pujian memang menyenangkan, tapi gue gak mau terlalu seneng karena gue belum mendapatkan hinaan. Untuk menjadi hebat, seseorang perlu menghadapi yang namanya hinaan dan kritikan. Mendapatkan Hinaan? Biarkan. Bakar aja. Mendapat Kritikan? Dengarkan, lalu perbaiki diri. Mendapatkan pujian? Semoga terus, sih. Gue udah siap kalo suatu hari gue dihina, itu hal yang wajar. Karena gak semua orang bisa suka sama kita.
Semakin giat gue nulis, semakin gue tau apa impian terbesar gue: Jadi penulis yang kemudian karyanya diangkat ke layar lebar, lalu disitu gue nulis skenarionya, belajar dan belajar dari Sutradara, sampai akhirnya gue bisa menjadi Sutradara film. Kemudian gue terjun ke dunia Youtube, menjadi Content Creator yang setiap karya nya memberikan manfaat positif bagi banyak orang.
Langkah pertama untuk mencapai semua tujuan itu: pilih kuliah. Gue akhirnya tau harus ke mana, dengan sepenuh hati gue memilih jurusan film dan televisi. Saat inilah gue dihadapkan dengan banyak kenyataan buruk yang harus gue tanggung resikonya. Di daerah gue, Bali, gak ada kuliah yang mempunyai jurusan televisi dan film. Kalo ada pun, percuma, gak akan berkembang. Setelah lulusnya gue gak tau mau kerja apa. Lowongan kerja lulusan film di Bali kayaknya langka banget.
Demi kemajuan di masa depan, gue tau, gue harus keluar dari zona nyaman. Meskipun gue agak takut juga sih ngerantau, gak tau gimana nasib nya di sana. Kemampuan bertahan hidup gue sangat rendah. Masak telor mungkin bisa kebakaran, abis ngangkat galon perlu tidur seharian karena kelelahan. Keinginan merantau ini gue sampaikan kepada orang tua gue. Mereka kaget, bahkan gak setuju. Mereka bilang hidup di luar Bali, di luar jangkauan keluarga itu berat. Hidup sendiri itu susah. Apalagi anaknya kayak gue, membiarkannya merantau ibarat melepas anaknya di hutan rimba.
Kebetulan Kampus yang gue incar berada di Jogjakarta. Setelah gue check google maps, jaraknya ribuan kilometer dari rumah gue. Sejujurnya gue lumayan takut ngerantau, banyak hal yang gue takutin di sana. Yang pertama gue takut kalo sewaktu-waktu sakit di sana, siapa yang bisa nolong? Gue gak mungkin pulang ke rumah naik gojek, gak mungkin juga nyuruh keluarga buat dateng ke tempat gue. Itu berarti gue harus mandiri, gue harus belajar dari sekarang, untuk ngesot nyariin Dokter.
Gue juga takut sama lingkungannya yang beda. Katanya lingkungan di sana itu kejam, sering terjadi kejahatan. Misalnya, perampokan. Kalo itu menimpa gue di sana, kepada siapa gue lapor? Gue gak tau di mana kantor polisi di sana. Nelepon polisi? Gue cuma inget nomer 14045. Ditodong penjahat?
Gue gak pernah ikut beladiri mana pun, yang gue tau cara melawannya: masukin kelereng ke lobang hidungnya. Cara ini cukup ampuh membuat penjahat sesak napas, cara ini beresiko, mungkin sebelum mendekat aja badan gue udah penuh luka tusuk. Dari semua kejahatan yang ada, yang paling gue takutin cuma satu: diperkosa sama orang.
Kampus yang gue pilih yaitu Institut Seni Indonesia yang berada di Jogja. Di Bali ada sih, tapi gak ada jurusannya. Sebenarnya gue kepengen kuliah di Institut Kesenian Jakarta, namun gak diijinin Orang Tua. Kata mereka, Ibukota itu kejam. Awalnya orang tua gak setuju soal gue ngambil jurusan film. Banyak temen Orang Tua gue yang hidupnya pas-pasan karena ngambil perfilman. Gue sendiri sebenernya juga mikir, Sehabis tamat, mau dimana gue kerja? Pasti susah.
Apalagi gue sendiri melihat contoh nyata lulusan anak seni yang ngambil perfilman kayak gimana, tubuhnya tatooan, rambutnya gak beraturan, dan bau ketek. Dipenuhi rasa takut, tapi gue tetep keras kepala. Orang tua menyuruh gue untuk kuliah di pariwisata, biar cepet kerja. Gue menolak, bagi gue kuliah di jurusan itu gak akan membuat hidup gue jauh jadi lebih baik. Gue pengen mengubah nasib, menjadi banyak dikenal orang, menjadi inspirasi orang, bahkan ingin dicintai banyak orang.
Emang sih cepet kerja itu enak, dapet uang bisa dipake buat apa aja. Bagaimana pun gue selalu keras kepala, kukuh sama pendirian. Gue tau, menjadi penulis itu prosesnya lama, akan banyak penolakan yang bakal menghampiri gue, tapi gue udah siap secara mental untuk mengatasi itu semua. Memilih kuliah sendiri, berarti gue harus bertanggung jawab atas apa yang udah gue pilih. Harus serius, gak boleh main-main.
Resiko terburuk dari memilih proses panjang menjadi penulis adalah gue gak bisa dapet uang secara cepat. Jumlahnya juga gak pasti. Gak bisa diprediksi. Hal terberat yang gue rasakan sekarang, pengen punya pacar. Jujur aja dari lubuk hati terdalam, setiap hari gue mendambakan seseorang yang mau ngesupport gue, bikin gue bahagia dan nyaman. Tapi, gue sadar, cinta sekarang butuh uang. Dengan keadaan seperti ini gue takut gak bisa ngasih apa-apa ke orang yang gue sayang. Takut gak bisa bikin dia bahagia.
Yang paling penting, sebagai anak gue harus bisa menjadi tulang punggung nantinya untuk keluarga. Gue bertekad untuk ngebahagiaiin orang tua, keluarga, dan siapa pun yang gue sayang. Demi mewujudkan itu semua, gue mesti bisa masuk ISI Jogja. Ada beberapa tes yang harus gue lalui melalui jalur SBMPTN, tes tulis dan tes keterampilan. Untuk tes tulis sendiri gue gak ngerti apa pun, bingung apa yang harus gue pelajarin. Tes keterampilan? Gue disuruh untuk Story telling dan Menggambar Sinematik. Bagian terberat dari semua tes: semuanya. Menggambar? Gue cuma bisa buat pegunungan. StoryTelling? Pas pelajarannya aja gue bolos mulu. Gue menganggap bahwa test jauh ke Jogja ini mungkin hanya akan menjadi liburan aja.
Hanya ada satu jalan yang gue bisa tempuh: pasrah. Apa pun yang terjadi pas tes nanti, terjadilah.
Tes menyisakan beberapa hari lagi, hebatnya gue belum punya persiapan sama sekali. Belajar dikit aja belum. Bahkan gue gak tau apa materinya. Kalo materinya semua ngulang dari SD, tetep aja gue gak bakal bisa jawab. Di saat seperti ini muncul ketakutan besar: apa gue bisa hidup di sana? Jauh dari semua itu berat. Keraguan pun muncul, terkadang ketakutan mengalahkan kekuatan. Gue tau gue takut, tetapi gue harus ngelawan itu semua. Ketakutan berikutnya yaitu kesepian. Sendiri di sana tanpa kenal siapa pun itu gak enak. Gak ada lagi yang bisa dimintain duit, ngasih makan gratis, dan yang peduli.
Menjelang hari yang makin dekat, banyak keraguan yang muncul. Bisakah gue dapet kerjaan yang bagus setelah selesai kuliah? Gue banyak melihat contoh nyata dari orang terdekat yang gagal karena jurusan yang gue pilih. Dari jurusan Film malah mereka terlempar ke banyak bidang, contohnya jadi pegawai konter hape.
Yah, semoga aja gue bisa test dengan lancar, terus keterima. Semoga juga gue bisa bertahan hidup di sana dengan segala cara. Kayaknya itu aja dulu curhat dari gue, soal keresahan selama ini. Memilih kampus dan menentukan masa depan itu emang perlu pertimbangan matang. Gak bisa ditentukan satu hari. Butuh waktu banyak.
Oke thanks for read, see u guys !