Kamis, 02 Januari 2020

Ketika Kuliah Salah Jurusan

Sekarang gue percaya apa kata orang, kehidupan setelah lulus SMA memang keras. Gue gak tau tujuan dan mau ngapain setelah itu. Gue berpikir untuk kuliah perfilman, namun gak ada jurusannya di Bali. Cadangan jurusan lain juga gue gak tau mau apa. Karena gak mau salah pilih jurusan dan berakhir jadi mahasiswa 14 semester, gue memutuskan untuk break setahun. Break setahun pun gue gak tau mau ngapain, akhirnya gue menghabiskan setahun menjadi anak no life.

Break setahun itu ada gak enaknya, kadang malu kalo ke rumah temen. Karena orang tua mereka suka nanya sesuatu yang menyinggung gue sebagai anak no life,misalnya, "Kamu kuliah di mana? " Gue suka bingung harus ngerespon kayak gimana, gak mungkin juga gue jawab, "Pengangguran Tante. Anak tante kok enggak?"

Gak enaknya juga temen-temen pada kuliah dan sibuk sama dunia masing-masing. Suatu siang waktu gue gak ada aktivitas (selalu) gue ketemuan dengan salah satu temen baik waktu SMA. Orangnya tampak senang dan bahagia menjalani kuliahnya. Dia sendiri memilih jurusan kitchen bagian memasak selama 2 tahun di salah satu kampus yang gak gue tau keberadaannya di muka bumi ini. Menurut gue jurusan kitchen itu keras, karena kerjanya penuh dengan tekanan dan harus cepat sigap.

Sementara temen gue ini tiap ada kegiatan di sekolah pasti lari kabur ke parkiran, atau sibuk tidur seharian di kamarnya. Konon juga kata temen gue yang lain, di rumahnya orang tua atau dia juga gak pernah masak, bahkan sampai mie sekali pun. Dan kulkasnya juga kosong, cuma isi jeruk nipis. Gue sendiri sebagai teman yang baik, agak kaget sama jurusan yang dia pilih. Karena terakhir kali gue liat dia masak, hasilnya jadi mie goreng garam (masak mie pake garam setengah bungkus)

Walau begitu, gue yakin dia udah berubah. Sekarang pasti dia jauh lebih baik lagi menjadi manusia. Dia suka bercerita tentang kuliahnya yang menyenangkan karena cepet pulangnya, jadi dia bisa tidur sampai besoknya. Atau semenjak kuliah, dia bisa dapet pacar yang baik hati dan tajir.

Mendengar ceritanya gue yakin dia pasti bener pilih jurusan. Maka dari itu gue juga harus bener. Beberapa bulan sebelum test masuk kampus, gue memutuskan untuk masuk jurusan managemen. Ikut testnya dengan semangat, dan ketika ngerjain soal ekonomi gak bisa gue jawab satu pun. Dua minggu sebelum ospek gue pindah jurusan, ke ilmu hukum. Semua demi menghindar bertemu angka dan hitungan.

Mendekati masa ngampus, temen gue ini ngajak gue ketemuan di suatu tempat nongkrong. Dia mulai mengeluh. Dia bercerita kalo sekarang dia sedang mengalami masa yang berat dalam hidupnya. Masa training. Kampusnya mewajibkan setiap mahasiswa untuk training di suatu hotel selama 6 bulan. Dari pagi sampai sore selama 9 jam, atau dapat shift nya siang sampai malem. Tentunya ini masa berat karena mengurangi jam tidurnya dan santainya.

Katanya training nya itu berat, udah kayak orang kerja. Dimarah, dibentak, disuruh cepet-cepet. Misalnya dia pernah dimarah karena motong bahan makanan yang lama, karena motongnya mesti isi ukuran seberapa. Apalagi udah penuh tekanan, dia cuma dibayar 500 ribu sebulannya. Dia mulai gak betah.

Saat itu gue bertanya, "Sekarang lo bisa masak apa aja? " Dan dia menjawab dengan mudahnya, "Gak tau." Itu semua karena sehabis mendapat ilmu, dia gak bisa mempraktekkan nya kembali di rumah karena di rumahnya memang gak pernah ada aktivitas memasak sekalipun. Mungkin juga karena gak ada bahan makanan di kulkasnya, cuma ada jeruk nipis.

Selama ngobrol di chat pun mulai muncul keluhan dari dia. Katanya dia mulai bolos training. Alasannya pun kampret dan sisi lain juga menyedihkan: pulang kampung karena omnya meninggal. Pas gue tanya kebenarannya, dia bilang palsu.

Seiring berjalannya hari dia makin gak kuat, karena dia gak punya temen (pulang sekolah lari ke parkiran pulang) maka gue yang dichat terus, dan karena temen maka gue ladenin aja. Ketidakbetahannya itu pun mulai mengusik hidup gue.

Suatu siang dia minta tolong sesuatu yang penting sama gue, yaitu bolosin dia training. Karena gue kasian sama dia, yaudah gue suruh dia dateng ke rumah gue. Dia dateng beneran ke rumah gue yang jaraknya jauh banget, semua demi bolos training. Gue pun menolong dia, dan ngechat salah satu yang mempunyai kedudukan di dapur hotelnya, seperti ini:



Demi bolos, dia rela mengatakan dirinya sedang celaka diserempet mobil. Kata orang, apa pun yang kita katakan adalah doa. Sungguh pembolos yang extreme dan garis keras. Gak lama bosnya pun menjawab, pas gue liat, gila ternyata bosnya ramah. Ternyata gampang juga ya bolos kerja. Pas gue buka chatnya, ternyata gini:




SURAT DC. Gue sendiri gak tau apa surat dc, pas dikasi tau ternyata itu surat ijin sakit buat yang kerja. Mampus. Kalo dia gak ngasih surat dc, pasti bakal disangka sakit bohongan. Maka, mau gak mau temen gue pergi ke dokter untuk membuat surat dokter palsu. Masalahnya juga, gue diajak sama dia buat nyari surat dokter. Karena gue nantinya mau download di tempat nongkrong, maka gue pun nemenin dia nyari surat dokter. Tapi sebelum itu, ada masalah berat. Mau pake alasan apa lagi pas ditanya dokter nanti, "Sakit apa?"Gak mungkin juga dijawab, " Bolos saya kambuh, dok."

Mau bilang kecelakaan pun juga gak bisa, karena gak ada bukti luka sehabis kecelakaan. Temen gue waktu itu punya niat yang ekstrim, nyuruh gue mukulin tangannya sampai bonyok dan biru, demi mendapat kepercayaan dokter. Tapi gak jadi, karena gue cuma jago nyakar orang. Maka dari itu kita saling bertukar pilihan, seperti sakit ketimpa penjor, ditabrak semut. Pilihan terakhir pun yaitu alasan sejuta orang: diare.

Gue dan temen berangkat ke salah satu klinik yang cukup terjangkau. Terakhir kali gue minta surat sehat, cuma bayar 50. Pas temen gue minta surat sakit, bayar 70 ribu. Temen gue mulai berakting, mukanya udah kayak orang sekarat, padahal cuma diare. Pas diperiksa gue kaget denger diagnosa dokternya, "Bagus! Perutnya masih berfungsi ini."

Cuma demi bolos training, temen gue mengeluarkan duit 70 ribu. Sungguh pembodohan. Gue yakin dia pasti bakal kapok dan menyesal. Empat hari kemudian dia dateng lagi ke rumah gue, minta dibolosin lagi.
Gobloknya juga gue malah ngebantu dia, seperti ini alasannya:




Jujur gue ketawa, gak nyangka, karena dia mecahin piring. Makin lama dia training, mungkin bakal banyak lagi yang pecah. Entah apa yang terjadi berikutnya. Tapi kali ini gue gak bantu dia ke dokter, karena kesiangan bangun. Pas gue buka HP dia bilang kalo dia mengeluarkan duit sebanyak 120 ribu cuma demi nyari surat ijin sakit. Pas gue tanya kenapa mahal, dia jawab, "Sama obatnya juga."

Goblok abis! Protes karena klinik rekomendasi gue mahal 70 ribu, dia nyari sendiri, habis 130 ribu. Jadi total dia ngeluarin uang 200 ribu cuma buat surat ijin sakit kerja. Pembolos terhebat. Hari demi hari berlalu dan gue gak tau apa dia bakal bolos lagi atau enggak.

Yang jelas tiap kali ketemu dia, gue ngerasa kasian. Pasti ada aja luka-luka di beberapa bagian tangannya. Misalnya tangannya melepuh kena minyak panas, tangan berdarah salah motong, dan mungkin selanjutnya sekujur tubuhnya kena goresan pisau.

Suatu hari dia bilang ke gue, kalo dia gak mau lagi dateng training. Itu berarti kalo dia gak training, maka bakal gak lulus kuliah. Katanya, udah kerjanya dibentak, gajinya gak seberapa. Gue bertanya kepada temen yang lain kebetulan juga pernah training, katanya dia gak dibayar sama sekali dan sekarang udah lulus. Sementara temen gue ini udah dibayar, masih mengeluh.

Temen gue memutuskan berhenti karena ngerasa bukan passionnya. Atau salah jurusan. Berhenti tanpa memberitahu orang tuanya. Gue gak bisa bayangin bagaimana reaksi dan kecewanya orang tuanya pas tau anaknya kayak gitu. Dan gue gak bisa bayangin seberapa gobloknya gue ngebantu temen ngelakuin hal goblok. Temen gue ini berhenti training, karena katanya dia udah mulai kerja. Jaga warnet. Katanya kerjanya santai, digaji sejuta. Sejujurnya gue bingung dengan pemikirannya. Kalo dia berusaha lanjut sampai lulus, bisa aja dia dapet kerjaan di kitchen yang gajinya sebanding. Dia malah meninggalkan kuliah yang tinggal setahun lagi, demi menjaga warnet yang digaji cuma sejuta.



Dia kerja di warnet deket rumahnya, sementara orang tuanya berpikir dia masih kuliah. Jadi dia berangkat pagi hari memakai celana panjang, sepahtu pantopel, demi tidak menimbulkan kecurigaan dia tampil persis orang kerja. Padahal ke warnet. Dia merahasiakan segalanya ke orang tua, bahkan tempat kerjanya pun juga dirahasiakan. Gue gak bisa bayangin kalo suatu hari Bokapnya mau ngeprint, terus melihat anaknya yang ngelayanin. Temen gue bilang, "Ini lagi kuliah masak, di cooking dash!"

Dia bilang ke gue kalo dia berhenti biar ada waktu untuk ngerjain project youtube bareng gue. Di sisi lain gue ragu, orang kayak gini bisa diajak kerja gak ya? Gue takut waktu dapet penghasilan AdSense cuma 2000, dia berhenti, lalu bilang, "Mending jaga warnet!"

Suatu hari, dia memutuskan hal gila, bilang ke orang tuanya kalo berhenti kuliah. Entah apa respon orangtuanya, gue gak bisa membayangkan. Dan gue gak bisa membayangkan lagi ketika gue udah duduk di teras rumahnya, ngebantu dia buat ngomong sama orang tuanya. Pada nyatanya gue cuma diem minum teh kotak, menunggu temen gue ngomong soal ini ke orang tuanya di kamar. Entah kenapa gue malah ikut campur begini. Goblok abis. Keberadaan gue malah meyakinkan orang tuanya kalo gue yang menjadi penyebab ini semua.

Pikiran gue mengawang, membayangkan ada baku hantam di rumah, diamuk, atau diusir lalu lari dari rumah naik motor. Pas dia keluar, ternyata badannya masih utuh tanpa kekurangan satu pun. Dia berkata, "Orang tua ku juga sebenernya gak setuju aku masuk jurusan kitchen. Tapi diliat aku kayak mau dan seneng."

Anjrit! FREAK NIH ORANG! Kalo gak bisa kenapa gak nolak aja? Gue gak ngerti sama temen gue dan keluarganya. Gak pernah atau jarang yang namanya komunikasi. Gue gak bisa ngebayangin kesehariannya mereka gimana. Mungkin waktu hari libur semua di rumah, sedang nonton TV, dan berempat diam sepanjang hari tanpa ngomong.

Setelah itu temen gue terus melanjutkan hidup. Kerja di warnet untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan katanya dia udah gak dikasi uang lagi, buat makan sekali pun gak dikasi. Uang sehari-hari yang didapat dari warnet, cuma buat makan aja. Pernah temen gue ngirim foto satu tahu isi, katanya dia cuma makan itu seharian. Gue gak tau bagaimana nasib temen gue beberapa bulan lagi. Dari badannya kayak tahu isi, mungkin bakal jadi togenya.

Dia juga cerita kalo orang tuanya mulai gak suka sama dia, wajar kecewa. Bahkan sampai mulai ada tanda-tanda mau diusir. Temen gue ini pun sempat nginep beberapa hari di rumah om dan tantenya, menceritakan itu semua. Omnya sedih, karena dulu pernah ngerasain salah jurusan. Maka dari itu omnya berniat untuk menguliahkan temen gue tahun depan di tempat yang berbeda. Temen gue seneng, bahkan dia ngirim foto ke gue tentang kamar barunya. "Aku bakal tinggal di sini sekarang!"

Beberapa minggu kemudian temen gue ngechat gue, "Woi! Aku nginep di rumah mu ya!" Lalu gue jawab, "Berapa lama?" Dia menjawab lagi, "Selamanya!" Kampret! Gue baru pernah ketemu temen yang ngerepotin temen lain kayak gini. Pas gue nanya kenapa dia gak tinggal di sana lagi, dia bilang, "Om ku udah dipengaruhin otaknya sama ibuk ku. Sekarang om ku berubah pikiran."

Akhirnya dia balik ke rumah lagi. Pikir gue dia bakal hidup di jalanan, ternyata balik ke rumah lagi. Melanjutkan hidup, sebagai penjaga warnet. Orang tuanya tetap ngotot agar temen gue training lagi, nyelesein pendidikan kuliah yang tinggal setahun lagi. Namun karena udah banyak gak dateng training, maka temen gue dapet tambahan tiga bulan ekstra training. Dapat dipastikan wisudanya terlambat.

Tapi dia tetap gak mau lanjut. Malah terus melanjutkan profesinya sebagai penjaga warnet. Tiap gue ke warnetnya, pasti dia lagi duduk depan komputer nonton pertandingan mobile legends. Kadang dateng bocah-bocah, lalu berkata, "Om bikinin tabel!", "Om Prinint gambar tari daerah!" Pada suatu kesempatan gue cerita ke temen lain, dan mereka pada bingung, namun juga bersimpati. Bahkan salah satu orang yang dulu sering mukulin temen gue ini, dateng ke warnet temen gue sambil bawain nasi goreng.

Waktu berlalu, tibalah masa dimana temen gue ngasih tau kalo dia udah resmi berhenti kuliah. Orang tuanya udah dateng ke kampus, untuk mengurus pemberhentian kuliah. Gue gak tau gimana perasaan orang tuanya, mengharapkan anaknya lulus dan mendapat sertifikat. Sementara anaknya selalu bilang, "Buat apa aku lulus kalo ujung-ujungnya jadi pengangguran?"

Sekian lama gak ketemu temen gue ini, suatu kesempatan dia cerita ke gue lewat chat. Dia bilang kalo sekarang udah berhenti kerja di warnet. Dia udah kerja di sebuah perusahaan investasi. Katanya semenjak dia keluar dari warnet, tempat itu langsung bangkrut. Karena gak ada yang mau kerja disana. Kalo gue jadi dia, mungkin aja gue bakal bilang, " Saya tetap kerja di sini, asal gaji jadi 10 juta sebulan! " Mungkin aja diterima, saking gaada yang kerja.

Kali ini temen gue mau ngerepotin gue lagi. Sosialisasi ke rumah. Jujur, investasi saham itu gue gak ngerti, dan mikir gak ada manfaat yang didapat. Apalagi dia selalu bilang siang, sementara gue masih ngampus.

Suatu hari dia ngajak gue ketemuan, di tempat biasanya nongkrong. Pas gue kesana, gue kaget. Ngeliat dia pake kemeja, tas baru, meja penuh makanan dan minuman. Gila! Semenjak kerja nasib temen gue berubah jauh. Dari makan tahu isi seharian, jadi makan spaggheti, nasi goreng dan dua minuman dingin. Sementara gue masih sama, mesen minuman 10 ribu, duduk diem berjam-jam. Tambah kaget lagi pas gue liat di tengah meja terdapat iPhone. Gila! Temen gue freak abis! Baru kerja sebentar, udah banyak duit. Mungkin beberapa bulan lagi gue diajak nongkrong, nih warung langsung dibeli di tempat.

Dia cerita kalo kerjaannya sekarang cuma sosialisasi. Ngomongin soal pekerjaan, gue agak waspada sama lowongan kerja jaman sekarang. Karena sering ada kasus penipuan, udah kerja sebulan, gak digaji. Dengan alasan gak dapet nasabah investasi 100 juta. Dan itu memakan banyak korban. Maka gue bilang ke temen gue, "Waspada! Awas lo ketipu! Udah dapet gaji belum? "

Dia jawab santai, sambil makan spagghetinya. "Gak bakal ditipu. Baru juga kerja seminggu, mana dapet gaji."

Sebulan kemudian gue dichat, "Anjir aku ketipu! Gak digaji bng***" Lalu dia ngajak gue ketemu buat bercerita. Pas gue kesana, gue kaget. Ngeliat dia duduk pake kaos, makanan cuma nasi goreng beserta satu minuman dingin. Sementara gue masih sama, mesen minuman 10 ribu, duduk berjam-jam. Lebih kaget lagi gue ngeliat di meja, cuma ada handphone kentang lamanya. iPhonenya hilang mendadak. Pas gue tanya kenapa, dia jawab, "Disita bapak ku."

Jadi selama ini itu iPhone punya bapaknya. Pas temen gue ini berhenti kerja, otomatis bapaknya langsung ngambil. Temen gue ini berhenti, karena udah sebulan lebih gak dapet gaji. Pas gue nanya perusahaan mana, dia kayak gak mau jawab. Dia bilang di suatu tempat yang lumayan jauh, gue masih curiga. Gue suruh foto tempat kerja kantornya, dia gak kau. Katanya bakal dimarah bosnya. Gue mikir, kantor apaan sih yang tertutup gini? Bukannya malah mencurigakan?

Soalnya temen gue yang lain juga pernah jadi korban penipuan perusahaan investasi. Gak digaji. Padahal awalnya dia berfoto dengan tumpukan duit kantor. Ngajakin gue dan temen lain untuk kerja di kantornya. Memuja kantornya tiap hari. Sampai akhirnya dia gak digaji dan alasan lainnya, dia menghujat kantornya habis-habisan. Di berbagai sosial media miliknya, bahkan ngasih tau gue dan temen lainnya untuk gak kerja di sana. Untungnya gue dan yang lain gak tersesat bareng dia.

Gue yakin kalo perusahaannya itu memang yang sama, yang nipu temen gue sekarang ini.
Tapi gue gak ngerti dia gak ngaku, seolah mau melindungi kantornya itu. Mungkin takut mengetahui kenyataan kalo memang kantor yang gue bilang itu benar-benar tempat dia kerja.

Beberapa hari kemudian dia bilang kalo perusahaaan yang gue ceritain itu memang tempat dia kerja. Dia keluar dari kantor, dan menerima begitu saja tanpa protes. Katanya dia dapet lowongan kerja dari ibunya.  Dan dia nerima gitu aja, tanpa mencari tau informasi tentang tempat kerjanya itu. Anjrit, goblok abis nih orang. Gue yakin kalo orang kayak temen gue ini gampang terpapar radikalisme. Tinggal dijelasin dikit, diimingi dengan gaji puluhan juta, mungkin dia bakal bilang, "Ya saya mau!"

Sekarang dia udah gak kerja lagi. Menghabiskan waktu sepanjang hari di kamar, atau kadang les bahasa Inggris. Dia bilang kalo mau nabung buat trading, biar duitnya banyak dan gak perlu kerja sama orang.Gue mengiyakan aja, walau gue gak yakin kalo dia ngerti begituan, karena nyoba aplikasi yang masih percobaan aja udah bangkrut terus.

Beberapa hari yang lalu, dia ngajakin gue buat ketemuan. Katanya dia mau bantu temennya buat laporan training. Karena gue sibuk, gue gak bisa pergi. Gue tanya ngapain dia bantu temennya buat laporan training, sementara dia udah berhenti kuliah dari lama. Gue kasian, khawatir temennya tersesat mengikuti wejangan temen gue ini. Temen gue menjawab, dan gue kaget banget. Dia nyogok kuliah.

Jadi bapaknya nyogok uang ke kampusnya, demi biar temen gue ini dapet sertifikat. Karena temen gue memutuskan gak mau training, maka gak bisa dapet sertifikat tanda lulus. Bapaknya pun nyogok demi anaknya. Pasti ngerasa rugi, udah bayarin kuliah setahun, malah berhenti padahal tinggal setahun lagi.

Gue ngerasa kasian sama orang tuanya, berharap anaknya bisa lulus lalu mendapat pekerjaan terbaik. Namun anaknya malah berhenti di tengah jalan. Di sisi lain gue tau gimana rasanya kuliah salah jurusan, bukan passionnya pasti gak nyaman menjalani, apalagi sampai kerja nanti. Ini semua karena jarang komunikasi, seharusnya dia cerita sama orang tuanya apa yang dia suka dan yang gak dia suka. Bukan hanya mengiyakan saja apa saran orang tua. Sekarang, gue gak bisa membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan orang tuanya. Entah, gue berharap yang terbaik aja. Dan gue berharap, semoga dia gak diusir dari rumah, lalu tinggal di rumah gue selamanya. Karena cuma gue temen satu-satunya.

Gue belajar banyak hal dari temen gue ini. Apa yang dipilih, adalah tanggung jawab. Selesaikan apa yang telah dimulai.

Saat menulis tulisan ini, gue lagi ngopi di suatu tempat, yang sunyi. Mendadak gue terpikir, segala kekacauan yang terjadi selama kuliah di semester satu. Apa gue salah jurusan juga?